Mengkaji Puisi Dalam Acara Puncak Mahasastra 736

 

Mengkaji Puisi Dalam Acara Puncak Mahasastra 736

Oleh: Nazella Tri Wulandari


 

“Beri Daku Sumba”

Karya: Taufik Ismail

 

Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu

Aneh, aku jadi ingat pada Umbu

 

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka

Di mana matahari membusur api di atas sana

Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka

Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga

 

Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput

Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala

Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut

Dan angin zat asam panas dikipas dari sana

 

Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari

Beri daku sepucuk gitar, bossa nova, dan tiga ekor kuda

Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari

Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba

 

Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda

Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh

Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua

Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh

 

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka

Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering, dan ternak melenguh

Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda

Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.

 

Puisi "Beri Daku Sumba" karya Taufik Ismail menggambarkan kerinduan yang mendalam terhadap keindahan alam dan budaya Sumba. Dengan bahasa yang kaya, penyair menyampaikan nostalgia melalui citra padang terbuka, kuda, dan kehidupan peternak.

Makna Kiasan Dari Beri Daku Sumba

Metafora yang menggambarkan alam sebagai identitas hidup, seperti matahari yang "membusur api" dan langit "bagai kain tenunan tangan".

Simbolisme kuda melambangkan vitalitas dan kekayaan budaya Sumba.

Puisi ini juga mencerminkan harapan penyair untuk mengunjungi Sumba, yang terinspirasi dari cerita teman dan visualisasi pemandangan.


“Biru Bukit, Bukit Kelu”

Karya: Taufik Ismail

 

Adalah hujan dalam kabut yang ungu

Turun sepanjang gunung dan bukit biru

Ketika kota cahaya dan dimana bertemu

Awan putih yang menghinggapi cemaraku.

 

Adalah kemarau dalam sengangar berdebu

Turun sepanjang gunung dan bukit kelu

Ketika kota tak bicara dan terpaku

Gunung api dan hama di ladang-ladangku.

Lereng-lereng senja

Pernah menyinar merah kesumba

Padang ilalang dan bukit membatu

Tanah airku.


Puisi "Biru Bukit, Bukit Kelu" karya Taufiq Ismail menggambarkan dualitas kehidupan melalui kontras antara keindahan alam dan realitas sosial yang pahit. Dalam puisi ini, hujan ungu dan bukit biru melambangkan keindahan, sementara kemarau dan kota yang hening mencerminkan kesedihan dan ketidakpastian. Metafora yang digunakan Ismail yaitu seperti "awan putih yang menghinggapi cemaraku" menunjukkan dampak pencemaran terhadap masyarakat. Secara keseluruhan, puisi ini mengekspresikan rasa cinta terhadap tanah air sekaligus mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi sosial yang ada.


“Sebuah Jaket Berlumur Darah “

Karya: Taufik Ismail

 

Sebuah jaket berlumur darah

Kami semua telah menatapmu

Telah berbagi duka ang agung

Dalam kepedihan bertahun-tahun

 

Sebuah sungai membatasi kita

Dibawah terik matahari Jakarta

Antara kebebasan dan penindasan

Berlapis senjata dan sangkur baja

 

Akan mundurkah kita sekarang

Seraya mengucapkan "selamat tinggal perjuangan"

Berikan setia pada tirani

Dan mengenakan baju kebesaran pelayan

 

Spanduk kumal itu, ya spanduk kumal itu

Kami semua telah menatapmu

Dan di atas bangunan-bangunan

Menunduk bendera setengah tiang

 

Pesan itu telah sampai kemana-mana

Melalui kendaraan yang melintas

Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan

Teriakan-teriakan di atas bis kota

Pawai-pawal perkasa

Prosesi jenazah ke pemakaman

Mereka berkata

Semua berkata

LANJUTKAN PERJUANGAN

 

Puisi "Jaket Berlumpur Darah" karya Taufik Ismail menggambarkan realitas sosial dan politik yang kelam. Dalam puisi ini, penyair menggunakan simbolisme jaket yang berlumpur darah untuk merepresentasikan penderitaan dan ketidakadilan yang dialami masyarakat.

Tema utama puisi ini adalah kritik terhadap kondisi sosial yang terabaikan, di mana suara rakyat sering kali tidak didengar. Dengan gaya bahasa yang transparan dan lugas, penyair berhasil menyampaikan pesan mendalam tanpa perlu menggunakan diksi yang rumit. Karya ini mencerminkan kepedulian penyair terhadap isu-isu kemanusiaan dan keadilan sosial, yang menjadikannya relevan hingga kini.

 

“Perayaan Duka Lara”

Karya: Nanda Umu Naimah

 

Sekarang rela, telah hilang separuh

Terpaksa mengabur diterpa hujan yang jatuh

Sebab, kemarin sempat aku berkeluh

pada hidup yang begitu riuh

 

Perihal beberapa hari silam

Aku melintasi jalanan kelam lebam, terseok - seok

melangkah tanpa genggam

 

Kupecahkan bening dikedua mata

Derai mengalir deras

seraya menutupi diri dengan erangan keras

 

 

Mengapa? lagi-lagi aku gagal

Tercekat terpelanting teramat

Awan kelabu terpapar begitu pekat

 

Sesak merebak...

Aku hampir sekarat

Namun dijalan takdirku ini

Perlahan kupilih untuk pulih

Meluruhkan semua duka dengan perayaan paling meriah

Melimpahkan tangis yang pecah, hingga lapang lalu pulang

Memompa segenap penerimaan, yang terbalut oleh kepingan rela dari yang masih tersisa

 

 

Walau duka dan laranya tak kunjung sembuh

Setidaknya, aku akan mengadah dan bersimpuh

Mudah-mudahan raga dan jiwa, senantiasa diberi teduh

Pula harap-harap, agar diri tak meredup demi menyambung

Rentetan benang hidup

Hingga esok tiba...

Sangkalah usiaku telah tutup.

 

Puisi "Perayaan Duka Lara" karya Nanda Umu Naimah menggambarkan perjalanan emosional penyair yang berjuang menghadapi kesedihan dan kehilangan. Dalam bait-baitnya, terdapat konflik batin antara rasa sakit dan harapan untuk pulih. Penggunaan metafora seperti "jalan kelam" dan "awan kelabu" menciptakan suasana suram, sementara perayaan di akhir puisi melambangkan usaha penyair untuk menerima dan merayakan hidup meskipun dikelilingi duka. Puisi ini menyoroti pentingnya penerimaan dan harapan dalam menghadapi kesulitan, menjadikannya reflektif dan menyentuh.

 





Dokumentasi:


 







 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Semantik Analisis Ragam Makna dalam Album Lagu Tulus

PENGANTAR PRAGMATIK

Melihat Panggung dan Cermin Karya Adonis